Rabu, 11 April 2012

Tragedi Si Amin


“Baik, jadi kita sepakat ya mengadakan bazzar untuk meramaikan 1 Muharram tahun ini?” Amin bertanya kepada peserta majelis rapat.
Semua peserta rapat yang mayoritas koordinator bidang – bidang sepakat, baik ikhwan maupun akhwat yang berada dibalik hijab.
“Tapi jangan lupa, untuk membantu pendanaan kita akan mengadakan GALIBU alias Gerakan Lima Ribu, kita juga minta kemasing-msing anggota.” ujar Mahmud dari bidang Humas.
“OK. Ana setuju. Gimana yang lainnya?”


“Sepakattt”
“Baik ana rasa cukup pembahasan kita.
Kita tutup rapat kita hari ini dengan doa penutup majelis.” Serentak mereka semua membacakan doa yang biasa dibacakan Rasulullah SAW ketika menutu mejelis. “Jazakumullah Khair, semoga kita dimudahkan oleh Allah SWT.”
“Aminnnn….”

“Waduh, kok ana di panggil-panggil?” celetuk Amin
Semua tertawa, dasar si Amin, sifat suka melucunya tidak juga hilang-hilang, meskipun sudah menjadi ketua Forum Studi Islam di fakultas nya.
Paserta rapat telah bubar meninggalkan Masjid Nurul Ilmi, masjid kampus yang megah, kecuali Amin dan Surya yang masih beres-beres.
“Afwan akh Amin masih disana?” terdengar suara dibalik hijab.
“Tuh kan emang ada yang manggil ana!” bisik Amin kepada Surya yang kebetulan masih disana, “Iya, ana masih disini. Kenapa?”
“Ana mau ngasih tau. Boleh?”
“Silahkan!”
“Afwan sebelumnya. Ana Cuma mau ingatin akhi, untuk selalu menahan diri dari bercanda yang berlebihan. Tadi ana dengar ketika rapat banyak sekali bercandanya. Takutnya ini berbahaya bagi antum sendiri dan juga pergerakan kita. Sekali lagi afwan.”
Surya yang mendengar senyum-senyum sendiri.
“Syukron ukhti telah mengingatkan ana!”
Sepanjang perjalanan pulang Surya terus menertawakan Amin, “Makanya, sudah jadi ketua FSI masih juga suka bercanda. Ana kan sudah dari-dari dulu ingatin antum. Tapi antum nggak pernah mau dengar.”
“Ana sih nggak apa-apa, berarti ada akhwat yang perhatian dengan ana, apalagi tadi itu ukhti Nissa.” Wajah Amin berseri-seri.
“Hati-hati antum akhi.”
“Kalau ana liat akhwat itu perasaan ana jadi tentram, hati ana jadi berdesir-desir. Ana kagum dengan mereka yang mampu menjaga diri dengan baik.
Hijab yang mereka pakai sangat melindungi mereka dari laki-laki nakal. Pokoknya akhwat itu sangat hebat.”
“Banyak istigfar antum akhi. Apa antum kira kita para ikhwan nggak hebat?.”
“Iya. Tapi beda. Kalau kita bertemu Ikhwan itu biasa aja rasanya, beda kalau kita bertemu dengan akhwat. Hmmm…rasanya gimana gitu!!!”
“Coba antum baca lagi surah An- Nur ayat 30-31, disana Allah berfirman baik kepada laki-laki maupun perempuan untuk menjaga pandangannya dan juga kemaluannya. Nggak takut antum. Allah Maha Melihat apa yang kita perbuat.”
“Astagfirullah… ampuni ana ya Allah.”
“Itu ada bus, cepat kejar!. “ keduanya masuk ke bus kampus dan pulang kw wisma.

_______***_______

Acara bazzar 1 Muharram hari ini dimulai. Pembantu Dekan III mewakili Dekan membuka acara tersebut. Apresiasi yang sangat baik diberikan oleh pihak fakultas dengan kegiatan yang diangkatkan.
“Saya bangga dengan acara yang diadakan FSI. Walaupun tidak seramai perayaan tahun baru Masehi, namun syiar Islam harus tetap diadakan. “ kata pak PD III
Bisa dikatakan acara bazzar kebanyakan diramaikan oleh panitia bazzar dan juga anggota-anggota FSI itu sendiri, tapi ada juga mahasiswa dan mahasiswi lainnya mengunjungi tapi tidak begitu banyak. Begitulah, respon terhadap dakwah kampus dan syiar islam di kampus ini tidak begitu baik, bahkan para penggerak dakwahnya sendiri dikatakan ekslusif dikerenakan masing-masing mereka saling menjaga hijab sesama anggota dan juga dengan warga kampus lainnya. Mereka sangat mudah dikenali, biasanya yang ikhwan berjenggot tipis, bercelana bahan dan kalo berjalan pandangannya lurus saja, meskipun ada juga yang pendangannya kemana-mana. Untuk akhwatnya, akan sangat mudah dikenali karna penampilan nya beda dari yang lain, dengan jilbab besar, berkaus kaki dan berbaju longgar.
Barang-barang yang dijual di bazzar sangat banyak, mulai dari buku-buku islami, makanan-makanan ringan, bahkan ada juga baju muslim dan muslimah. Semua dijual berjajar diatas meja yang tersusun rapi di koridor dekanat. Langit-langit dekanat dihiasi dengan tirai-tirai yang terbuat dari kertas.
“Surya, bros ini bagus ya?” Amin memperhatikan sebuah bros yang terpajang di meja bazzar.
“Untuk apa antum? Bukan untuk antum pakai kan?”
“Sembarangan aja antum. Ana mau beli untuk Ummi ana.”
Amin memilih-milih bros yang paling bagus.
“Akh, kalau antum ada waktu, ana minta ditemani antum ke Pasar Raya untuk membeli sesuatu.”
“Beli Apaan?”
“Ada deh, mau tau aja.”
“Besok sore ana ada waktu. Kebetulan ana juga mau cari buku di dekat Pasar”
“OK deh….”
________***________

Amin dan Surya sampai di Pasar Raya yang sangat sesak karna ramai nya orang-orang yang datang.
“Surya, kira-kira ini bagus nggak?” Amin menunjukkan sebuah jilbab besar.
“Bagus. Warna nya terang. Untuk siapa?”
“Adik ana!”
“Adik antum udah jadi akhwat?”
“Adik ana emang akhwat kan?”
“Iya. Maksud ana apa adik antum udah berjilbab besar gini?”
Amin mengangguk mengiyakan, “Ok. Ana ambil ini ya! Sekarang kita cari baju, kaos kaki, manset dan perlengkapan lainnya.”
“Ihh…apa nggak malu antum beli barang-barang akhwat gitu?”
“Kan untuk adik ana. Kalau ada yang nertawain, ya cuek aja!”
________**________

Panas sangat membara siang itu. Amin sendirian saja di Wisma, penghuni wisma yang lain pergi beberapa menit yang lalu untuk menghadiri Walimatul ‘Ursy nya Bang Hamdan, mantan ketua FSI dua tahun yang dulu. Amin tidak ikut pergi dengan alasan ada agenda lain. Di kamarnya, Amin membuka bungkusan yang dia beli kemarin sore bersama Surya. Pelan-pelan dibukanya. Di ambilnya baju dari bungkusan itu kemudian dipakainya, lengkap dengan rok biru berenda. Kemudian manset dipasang di pergelangan tangan nya, dan kemudian kaus kaki. Selanjut nya dia memakai jilbab besar yang berwarna senada dengan baju yang dipakainya, tidak lupa bros yang dibeli saat bazzar disematkan dibagian kiri jilbabnya.
Amin sangat puas dengan dandanan barunya. Tidak henti-henti menatap cermin yang berada didepannya. Dia pun berjalan maju mundur, kekiri dan kekanan.
Sedang asyik menikmati dandanan barunya, amin terkejut. Pintu kamar nya yang memang sedikit terbuka, terhempas dengan kerasnya.
“Astgafirullah, akhi apa yang antum lakukan ini!!!! Buka!!!” ternyata itu Surya. Dia menarik paksa jilbab yang dipakai Amin hingga terlepas.
“Lho, bukannya antum sama-sama pergi dengan yang lainnya?” Tanya Amin gugup.
“Ana kembali untuk menjemput kamera.” Jawab Surya menahan amarah. “Apa yang antum lakukan dengan berdandan seperti ini? Cepat lepaskan semua, jijik ana melihat penampilan antum.”
“Tidak ada hak antum melarang ana berpenampilan seperti ini. Itu hak ana. Tidak ada urusannya dengan antum. Ana Cuma ingin merasakan menjadi akhwat. Ana sanggat mengagumi mereka.” Kata Amin bersikeras.
“Tapi tidak mesti harus berpenampilan separti mereka kan? Antum sudah bohong kepada ana. Antum bilang membeli baju dan perlengkapan ini untuk adik antum. Ya Allah akhi, ana tidak habis pikir, apa yang sebenarmya terjadi dengan antum. Apa yang ada dalam pikiran antum saat ini. Coba liat antum sekarang! Ya Allah…”
“Ana mengagumi perjuangan akhwat yang rela berpanas-panas hanya untuk menutupi aurat mereka. Ana bangga kepada akhwat yang sangat ketat menjaga pandangan nya. Ana ingin merasakan bagaimana perjuangan mereka itu. Ana ingin seperti mereka, ana ingin menjadi bagian dari mereka.” Amin terduduk menangis.
“Apa antum lupa? Allah telah berfirman, bahwa Dia menciptakan manusia itu hanya terdiri atas dua macam jenis kelamin, laki-laki dan perempuan. Itu kodrat bagi kita akh, itu sudah ketentuan Allah yang sudah tertulis rapi di lauh mahfuz, tidak ada yang bisa merubah itu. Kalau antum tetap dengan pendirian antum, antum akan mati dalam keadaan terhina akh.” Surya menguncang-guncang tubuh sahabatnya yang terus menangis. “Kita para ikhwan bisa seperti mereka, kita bisa jaga hijab kita, kita bisa jaga pandangan kita. Tapi tidak harus menjadi seperti mereka. Apa kata Rasulullah ketika melihat kader yang akan melanjutkan risalahnya seperti ini?”
Amin hanya diam. Dia tidak bisa menjawab apa-apa, air matanya terus mengalir.
Surya, mengangkat tubuh sahabatnya itu untuk berdiri, “Akhi, sholat sunnah lah. Minta ampun kepada Allah. Antum sekarang sedang di uji. Mudah-mudahan antum mendapat hidayah dari Allah yang Maha Pengampun.
Amin memeluk tubuh sahabatnya itu, “Syukron akh, ini teguran bagi ana. Semoga Allah membalas kebaikan antum karna telah mengingatkan ana.”

________***________

Catatan: Tidak bisa dipungkiri dikalangan aktivis dakwah, hal diatas sering terjadi. Ikhwan megagumi akhwat, atau sebaliknya akhwat mengagumi ikhwan. Karna itu lumrah. Tapi cerita di atas adalah kejadian ektsrimnya. Dan yang harus menjadi catatan adalah jangan terlalu berlebihan karna ini celah bagi syaitan untuk menjerumuskan manusia ke lembah kenistaan. Waspadalah wahai aktivis da’wah. Semoga kita selalu di lindungi oleh Allah SWT dari hal yang menyesatkan.

Copas dari catatan seorang teman dgn revisi seperlunya.. 

Sumber: http://lillahfaridah.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar