Ini adalah sebuah kisah nyata yang dituturkan oleh seorang muslim di daerah timur tengah.
Banyak orang yang menikmati masa lalu dengan semua kenangan
yang ada di dalamnya. Mereka senang membicarakannya, kecuali aku. Apakah kalian
tahu mengapa? Aku tidak ingin menceritakannya pada kalian, karena aku khawatir
kalian justru melaknat dan mendoakan kehancuharan untukku jauh lebih banyak
dari laknat yang kulemparkan untuk diriku sendiri. Jangan sampai di antara
kalian ada orang shalih yang doanya dikabulkan oleh Allah, sehingga ia kemudian
benar-benar menghukum dan melaknatku akibat itu….
Tolong maafkan aku atas kalimat-kalimat
membingungkan dan tidak beraturan ini, karena aku adalah orang yang mendapatkan
musibah. Andai saja ini hanya satu musibah ….oh, ini bahkan dua, tiga, bahkan
lebih dari itu…..
Aku adalah orang yang telah menjual segala
sesuatunya, namun tidak mendapatkan apapun. Dan demi Allah, aku tidak
menuturkan kisahku pada kalian selain untuk mengingatkan kalian, mengingatkan
orang yang begitu berharga bagi kalian agar tidak terjatuh dalam apa yang aku
alami.
Aku tidak tahu, apakah aku harus menyelesaikan
kisah ini atau berhenti di sini. Demi Allah, pena pun menjadi malu terhadap apa
yang akan kutulis. Jariku menolak seribu kali dan ingin menahanku, namun aku
akan tetap menulis kisahku. Semoga Allah berkenan menuliskan satu atau dua kebaikan
untukku saat kelak aku menghadap-NYA pada hari kiamat, meski kadang aku
berpikir bahwa ia akan menerima taubat sang setan, namun tidak menerima
taubatku. Kalian jangan menghinaku, dengarkanlah kisahku dan ambilah pelajaran
serta ibrah sebelum semuanya terlambat……
Aku adalah seorang pemuda yang hidup dalam
kelapangan. Dari keluarga yang menjaga kehormatan dan mendapatkan rezki yang
baik lagi berkah dari Allah. Sejak kami tumbuh, kami hidup bersama dalam
naungan kebahagian dan cinta di dalam rumah kami. Di dalam rumah kami ada ibu,
ayahku, nenekku dan saudara-saudaraku. Kami berjumlah semua tujuh orang, aku
adalah anak kedua dan di atas ku adalah seorang kakak perempuan bernama Sarah.
Usianya berselisih satu tahun denganku.
Setelah ayahku, akulah yang menjadi tumpuan di
rumah. Aku menjalani proses studiku hingga sampai ke kelas 2 SMA, dan saudariku
Sarah duduk di kelas 3 SMA. Sementara saudara-saudaraku yang lain mengikuti
pula apa yang kami tempuh.
Aku sendiri bercita-cita untuk menjadi seorang
insinyur. Namun ibuku menolaknya dan mengatakan bahwa ia ingin aku menjadi
seorang pilot. Sementara ayah mendukungku untuk menjadi seorang akademisi dalam
bidang apa saja. Saudariku sarah ingin menjadi seorang guru untuk mengajarkan
agama dan adab kepada generasi masa depan. Namun tinggalah itu semua menjadi
angan dan cita-cita.
Berapa banyak orang yang hidup telah terputus
sebelum ia menyempurnakan mimpinya. Berapa banyak orang yang tidak mampu
mewujudkan mimpinya karena situasi dan kondisi, dan berapa banyak pula orang
yang akhirnya juga berhasil dan mewujudkan impiannya. Tapi untuk mengalami
seperti yang kami alami, rasanya tidak ada seorang pun yang cita-cita dan
mimpinya terputus akibat hal yang tidak pernah dibayangkan oleh orang yang
berakal, bahkan gila sekalipun. Oleh sesuatu yang tidak pernah terbetik dalam
pikiran manusia.
Di sekolah, aku berkenalan dengan teman-teman
yang tak ubahnya bagai madu. Ucapan mereka juga bagaikan madu. Pergaulan mereka
pun bagai madu, bahkan jauh lebih manis. Aku bergaul dengan mereka
berkali-kali, menyertai mereka tanpa diketahui oleh keluargaku, dan pelajaranku
tetap berjalan lancar, keadaanku juga tidak perlu di khawatirkan, bahkan sangat
baik. Selama itu pula, aku berusaha mengompromikan antara studi dan
pertemananku dengan mereka. Dan setidaknya aku berhasil melakukanya selama
semester pertama. Lalu dimulailah saat liburan. Duhai, liburan macam apa itu?
Andai saja Allah tidak pernah mengulangi lagi liburan seperti itu……
Ayahku mulai memperhatikan betapa seringnya aku
keluar rumah. Aku semakin tidak memperhatikan kondisi rumah lagi. Ia dan juga
ibuku kemudian menegur bahkan memarahiku atas semua itu. Sementara kakaku,
Sarah, selalu berusaha membelaku, karena ia sangat menyayangiku dan takut jika
ayhku yang keras itu memukulku.
Dan hari-hari liburpun terus berjalan, hari-hari
yang andai saja aku tahu seperti apa akhirnya pasti aku sudah membunuh diriku
sendiri, bahkan memotong-motong jasadku sendiri sepotong demi sepotong. Yah,
aku tidak akan mau menjalani hari-hari itu, namun begitulah kehendak Allah.
Hari itu, aku dan kawan-kawanku sedang berada di
sebuah rumah di dekat sebuah air terjun. Seorang kawan mengajak kami berlibur
ke sana sembari menonton video dan bermain. Kami duduk sejak waktu maghrib
hingga jam 11 malam, dan itu adalah waktu dimana aku seharusnya sudah pulang ke
rumah. Tapi si pemilik rumah meminta ku untuk tetap tinggal selama kurang lebih
setengah jam, dan setelah itu bersama-sama kami semua pulang ke rumah kami
masing-masing. Tapi apakah kalian tahu apa harga yang harus kubayar untuk
“setengah jam “itu ?! seluruh umurku! oh, tidak ….bahkan seluruh umur
ayah-ibuku dan seluruh keluarga ku. Ya,semuanya………….
Setengah jam itu adalah harga untuk semua
kehidupan kami. Harga untuk memindahkan kami dari kebahagiaan kepada
kesengsaraan abadi. Bahkan setengah jam itu telah melapangkan jalanku menuju
Neraka menyala-nyala yang tidak menjilat kecuali orang yang binasa.
Seorang kawan menyiapkan seceret teh untuk kami
untuk menghabiskan waktu. Tidak lama, kawan
itu datang membawa teh buatannya. Kami pun minum
sambil melanjutkan perbincangan kami diselingi canda dan tawa. Semuanya
benar-benar polos, tulus dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Namun setelah
kami meminum sedikit teh itu, entah mengapa kami seperti melayang. Kami tertawa
tidak biasanya hingga kami memuntahkan semua yang ada dalam perut kami. Kami
semuanya…..ya, kami semua………..
Dan aku tidak tahu apa yang terjadi hingga kawan
yang paling pertama kali bangun membangunkan kami. Pemilik rumah bangun
memarahi dan mencaci maki kami atas semua yang telah kami lakukan malam itu.
Sementara kami sendiri tidak tahu apa yang telah terjadi; mengapa dan bagaimana
bisa terjadi? Kami segera melontarkan amarah kami ke kawan yang telah
menyiapkan teh itu. Dan ia hanya mengatakan: “Aku Cuma bercanda.”
Kami segera membersihkan diri kami dan
membersihkan tempat itu, kami segera pulang ke rumah kami. Aku memasuki rumah
ku diselingi kicauan burung, sementara seisi rumah terlelap, kecuali kakaku,
Sarah, yang segera manarikku ke kamarnya, lalu menasehatiku dan mengancamku
bahwa apa yang terjadi hari itu adalah untuk yang terakhir kalinya aku
terlambat pulang ke rumah. Maka aku pun berjanji untuk itu padanya. Namun ia
tak pernah tahu bahwa sebenarnya sebelum hidupku, kehidupannyalah yang sedang
terancam. Duhai, andai saja ia tidak pernah memaafkanku, andai saja ia
memukulku, atau bahkan ia membunuhku dan tidak memaafkanku.
Ya Tuhanku, andai saja ia tak memaafkanku. Oh
maafkan aku, aku tidak sanggup melanjutkannya…………
….
….
Beberapa hari kemudian, kami kembali berkumpul
di rumah seorang kawan. Dan anehnya, kami kembali mengusulkan untuk mengulangi
kejahilan yang tempo hari diperbuat pada kami. Kami mulai menyukai dan
menikmatinya………….
Teman kami yang melakukannya berkata; ”Barang
itu di jual dengan harga yang sangat mahal, dan jika aku sendiri maka aku tidak
bisa membelinya.”
Maka kami pun sepakat untuk mengumpulkan uang
untuk itu. Segera saja kami membeli beberapa sesuai jumlah kami melalui kawan
itu. Dan aku pikir, kalian sudah mengetahui benda apa yang ku maksudkan itu.
Yah, itu adalah narkoba. Benar, rupanya teman kami itu bercanda dengan
memasukan sebutir barang haram itu tanpa kami menyadari. Kami terjerumus dalam
jurang kebinasaan itu hanya karena keisengan sebutir narkoba!
Maka kami pun sepakat untuk mempergilirkan
seorang dari kami untuk membeli barang haram itu setiap dua minggu sekali dari
uang yang telah kami kumpulkan bersama. Hari-hari berlalu, dan kondisiku di
sekolah terus semakin memburuk. Ayahku akhirnya harus memindahkan ke sebuah
sekolah swasta agar aku bisa lulus dari tingkat SMA. Sementara itu, seluruh
impianku, impian ayah dan ibuku sudah habis dan melayang begitu saja. Yah,
Pilot dan insiyur apa yang diharapkan dari orang seperti ku? Demi Allah, itu
semua bukan salahku……..andai saja aku tahu ketika barang itu di tawarkan,
mungkin aku akan menolaknya. Tapi itulah akibat dari sebuah keisengan -semoga
Allah melaknat orang yang melakukan keisengan itu kepada pemuda-pemuda muslim
lainnya-.
Hari-hari berlalu, dan kami terus larut dalam
kumpul-kumpul dan pertemuan kami yang keji itu. Dan tidak ada seorangpun yang
tahu atau menyadari apa yang sesungguhnya sedang terjadi. Aku dan kawan-kawanku
kini benar-benar tidak lagi dapat berpisah jauh dari barang haram itu. Akibatnya,
nilai ujian akhirku benar-benar mengecewakan seluruh keluargaku. Namun
setidaknya kelulusan Sarah dengan nilai yang tinggi dapat meringankan
kekecewaan itu. Selamat, wahai Sarah; kalimat itu kuucapkan dengan tulus walau
dengan semua yang telah menimpaku. Untuk pertama kalinya sekaligus terakir
kalinya aku merasakan kegembiraan dari lubuk hatiku, aku mengatakan; “Kau ingin
ku belikan apa untuk hadiah kelulusanmu ini, wahai Sarah?”
Kalian tahu apa jawabnnya? Ia seperti ikut hadir
bersamaku dalam berbagai pertemuanku dengan kawan-kawanku. Ia seperti
mengetahui betul kondisi kami.
“Aku ingin engkau hati-hati dengan dirimu,
adikku. Karena engkaulah sandaranku setelah Allah……-aku tak sanggup melanjutkan
ucapannya-.”
Hari itu, ia mengucapkannya hanya sekedar sebagai
sebuah kalimat. Ia tidak tahu bahwa kalimat itu menjadi tikaman-tikaman keras
dalam sisa perjalanan hidupku. Duh, andai saja ia tak pernah mengucapkannya.
Sandaran apa yang kau maksud, wahai Sarah? Hasbiyallah wa ni’mal wakil.
Hasbiyallah wa ni’mal wakil. Hasbiyallah wa ni’mal wakil.
Sarah akhirnya melanjutkan studinya di Institut
keguruan. Dia disana bersungguh-sungguh dan mengerahkan semua upayanya.
Sementara aku hanya berjalan dari satu kegagalan menuju kegagalan yang lain.
Dari satu kesesatan dan kegelapan menuju kesesatan dan kegelapan yang lain.
Dari kondisi yang buruk kepada kondisi yang semakin buruk. Namun keluargaku tak
pernah mengetahuinya. Tidak mengetahui bahwa kami semakin jauh. Kami sudah
tidak lagi bisa hidup tanpa barang haram itu lebih dari dua hari. Teman kami
-bukan, sebenarnya ia musuh terkutuk, bahkan setan yang terkutuk- mengatakan:
“Ada yang lebih mahal harganya, tapi lebih manis, lebih tahan lama, dan lebih
menyenangkan.” Kami pun segera mencarinya. Kami mengumpulkan banyak uang untuk
itu. Dan semuanya itu dari kantong-kantong orang tua kami yang tidak pernah
tahu, apakah mereka berperan dalam kehancuran kami, apakah mereka berdosa atas
semua itu atau tidak………
Dan suatu ketika, saat aku kembali ke rumah,
nampaknya Sarah sudah mulai merasakan sesuatu dengan keadaanku. Ia membiarkanku
tidur, dan ketika pagi menjelang, ia mendatangi ku di kamarku. Ia menasihatiku
dan mengancamku akan membongkar rahasiaku itu jika aku tak menceritakan yang
sebenarnya. Tiba-tiba Ibu kami masuk, dan kami pun memutuskan pembicaraan kami.
Duh, andai saja ibuku tak pernah masuk, andai saja ia tak pernah ada agar aku
dapat mengakui perbuatanku kepada kakaku. Aku berharap ia dapat membantuku…….
Yah, ibuku masuk dan memintaku untuk
menyelesaikan suatu urusan. Aku pun pergi. Tapi sejak itu aku selalu saja
menghindar untuk bertemu dengan kakakku karena semakin takut apa yang telah
kusembunyikan selama setahun ini akan terbongkar.
Suatu hari, aku bertemu dengan salah seorang
kawanku. Bersama-sama kami pergi ke rumah teman yang lain dan kembali melakukan
perbutan terkutuk itu. Kepada mereka kuceritakan apa yang telah terjadi. Karena
takut ketahuan, maka kami pun mulai berpikir mencari jalan keluarnya. Salah
kawan mengatakan: “Aku punya jalan keluar……”
Apakah kalian tahu apa jalan keluar yang di
tawarkannya?! Apakah kalian tahu?! Demi Allah, andai saja menanyakan kepada
setan: “Apa jalan keluar masalah ini, aku tak akan pernah membayangkan bahwa ia
akan mengatakan seperti itu. Apakah kalian tahu apa yang di katakannya? Apa
yang dipikirkannya? tidak seorang pun menduga apa yang diusulkannya!”
Apakah ia mengatakan : “kita bunuh saja dia?!
andai saja ia mengatakan itu. Yang dikatakannya jauh lebih besar …..
Apakah ia mengatakan : “kita potong saja
lidahnya dan kita copot matanya?! Tidak, yang dikatakannya jauh lebih besar.”
Apakah ia mengatakan : “kita bakar saja ia?!
Tidak, yang dikatakannya jauh lebih besar.”
Apakah kalian tahu apa yang dikatakannya?!
Ia mengatakan -semoga Allah memisahkan tulang
belulangnya, membutakan matanya, melenyapkan akalnya dan tidak memberinya
taufik di dunia dan di akhirat. Hm, ia benar-benar setan. Dialah yang
menyebabkan semua yang kualami ini. Ia telah mengatakan sebuah kekejian yang
tak pernah kubayangkan……
“Jalan keluar yang paling baik adalah membirkan
dia masuk dalam kelompok kita…….,”ujarnya.
“Kita berikan sebutir pil untuknya, lalu kita
biarkan menikmatinya, dan ia pun dalam kekuasaan kita. Ia tidak akan mampu lagi
membongkar rahasia kita, untuk selamanya….”
Yah, Sarah yang sangat baik dan kusayangi itu,
yang selalu menjaga kehormatannya. Ia adalah Sarah kakakku!
Tapi mereka telah membujuk rayuku. Mereka bilang
: “Ia tidak rugi apa-apa. Engkaulah yang menyiapkan barang itu di rumah kalian
sendiri. Ia tetap terhormat. Dan hanya beberapa butir itu kau tahu sendiri
tidak akan memberi pengaruh yang berarti….”
Begitulah, dibawah pengaruh obat terlarang dan
dibawah tekanan para setan itu aku akhirnya menyetujui rencana itu, bahkan
mengaturnya dengan detil bersama mereka.
Aku pulang ke rumah. Sarah menemuiku dan
memintaku untuk berbicara denganya. Kukatakan padanya : “Tolong buatlah teh dan
saya akan meceritakan semuanya padamu.”
Kakakku yang malang itu pun berlalu dariku untuk
membuat teh seperti yang kuminta, dan semua itu dia lakukan demi menyelesaikan
masalahku! Sementara aku, di kepalaku ada 1000 setan dan obsesiku sepenuhnya
untuk menghancurkan seluruh hidupnya. Akhirnya ia datang membawa teh itu. Ia
kemudian menuangkannya. Lalu aku minta tolong padanya untuk mengambilkan sebuah
gelas. Ia pun pergi mengambilkannya. Dan ketika ia keluar dari ruangan itu, aku
bersumpah demi Allah, tak terasa air mataku mengalir. Aku tak tahu air mata
penyesalan terhadap masa depankah, atau mungkin itu adalah ruhku yang keluar
dari mataku, atau mungkin air mata kegembiraan karena aku telah berhasil
memenuhi janjiku kepada teman-temanku bahwa aku telah sukses menjaga rahasia
ini selamanya…….
Aku meletakan sebutir barang haram kedalam
gelasnya. Tidak lama kemudian ia datang dengan tersenyum. Dan aku melihatnya
seperti anak kecil yang polos yang masuk kedalam hutan penuh serigala. Ia masuk
tanpa ada prasangka apapun. Benar-benar polos.
Ia melihat air mataku mengalir. Ia segera
mengusapnya dan mengatakan : ”Lelaki tidak boleh menangis.”
Ia berusaha menenangkanku. Ia mengira aku telah
menyesali perbuatanku. Ia tak pernah tahu bahwa aku menangisi nasibnya, dan
bukan nasibku. Aku sedang menangisi masa depanya, canda-tawanya, dan hatinya
yang putih-bersih.
Sementara setan dalam diriku mengatakan: “Tenanglah,
itu tidak akan membahayakannya. Esok engkau dan dia dapat berobat bersama.
Bukankah ia juga harus mengetahui penderitaanmu? Ia tak akan mampu memaafkanmu
kecuali ia juga telah mencobanya.”
Begitulah setan itu terus membujuk dan
menenangkanku. Aku pun mengatakan padanya: “Biarlah kita meminum teh ini dulu,
supaya aku tenang dan barulah kita berbicara.”
Dan ia pun meminumnya (Duh, andai saja ia tak
meminumnya dan andai saja ia tak pernah membuat teh itu……) namun ia tetap duduk
larut dalam pembicaraan, hingga akhirnya ia mulai kehilangan kesadarannya. Dan
aku….aku mulai menangisi sesekali dan tertawa sesekali. Aku tidak tahu apa yang
menimpaku? aku tertawa dan menangis. Air mataku mengalir dipipiku. Lalu iblis
pun mulai menakuti-nakuti bahwa rahasia akan terbongkar. Kedua orang tuaku
pasti akan mengetahui masalah ini jika mereka melihat keadaan kakak perempuanku
seperti ini. Maka aku pun berpikir untuk melarikan diri.
Aku melarikan diri menemui kawan-kawanku. Aku
memberikan kabar gembira pada mereka dengan musibah yang telah kulakukan.
Mereka mengucapkan selamat dan mengatakan: “Tidak ada yang mampu melakukan itu
kecuali seorang pria yang jantan! Sekarang engkau layak jadi bos kelompok
kita!”
Malam itu, kamipun tidur. Dan diwaktu siang
keesokan harinya, aku mulai bertanya pada diriku sendiri: “Apa yang telah
kulakukan? Apa yang telah kuperbuat dengan kedua tangan ku ini?”
Maka kawan-kawanku pun menghibur. Mereka bilang
:” Kamilah orang pertama yang menyertaimu untuk mengobatinya. Masalah ini tidaklah
terlalu berat. Ini hanya masalah beberapa butir saja……”
Dua hari kemudian, ayahku mulai bertanya-tanya
tentangku setelah cukup lama aku tidak menemui mereka. Aku pun mengutus
beberapa kawanku untuk mencari tahu bagaimana kondisi dirumah, karena aku takut
dengan apa yang telah terjadi pada kakak perempuanku. Mareka pun kembali dan
menenangkanku, bahwa semua urusan tetap terkendali dan tidak ada hal berarti
yang perlu dikhawatirkan.
Aku pun pulang kerumah. Dan Akupun siap menerima
pukulan dan cacian yang selama ini tak pernah berguna untukku. Dan benar saja,
ayahku memukulku, ibu dan kakakku mencaci setengah mati.
Beberapa hari kemudian, kakak perempuanku itu
datang menemuiku dan menanyakan barang apa yang telah aku letakan didalam
tehnya. Ia mengaku sangat menyukai dan menginginkannya lagi. Tapi aku
menolaknya. Namun ia terus saja mendesakku bahkan sampai mencium kedua kakiku,
persis seperti yang kulakukan pada kawan-kawanku ketika meminta berang haram
itu dari mereka. Karena ia seperti itu, aku jadi kasihan padanya. Aku pun
memberikan barang itu padanya. Hal itu berulang hingga beberapa kali. Dan
kondisi studinya pun mulai menurun, hingga akhirnya juga meninggalkan bangku
studi tanpa ada penyebab yang jelas bagi keluargaku……..
Harapan keluargaku akhirnya berubah dan bertumpu
pada adik laki-lakiku. Dan sekali lagi, betapa kejinya obat-obat terlarang itu
memasuki keluargaku. Sarah meminta dariku, dan aku pun memintanya melalui salah
seorang temanku. Tapi temanku menolak untuk memberinya kecuali jika……..apakah
kalian tahu apa yang dipersyaratkan oleh temanku itu? Duh, hanya Allah tempatku
bersandar. Ia mau memberikan barang itu dengan syarat Sarah mau berzina
denganya!!
Aku tentu saja menolaknya. Aku bahkan bertengkar
dengannya. Kawan-kawan yang hadir di situ mencoba untuk melerai dan berusaha
mendamaikan. Mereka bilang : “sarah tidak akan apa-apa. satu kali saja tidak
akan masalah baginya. Coba engkau tanya ia jika ia setuju, apa masalahnya
bagimu? Engkau tidak akan rugi apa-apa.”
Sekarang mereka malah berpihak pada kawanku itu.
Mereka semuanya. “Engkau orang pertama yang mengatakan padaku: ‘aku akan
bersamamu mencarikan obat dan menyembuhkanya’, lalu engkau meminta hal seperti
ini! Pertemanan macam apa ini?!” teriakku di depan wajahnya.
“Pertemanan macam apa? pengobatan apa? Oh maaf,
aku sudah lupa……..,” jawabnya dengan nada sinis. Kami terus bertengkar, dan aku
pun meninggalkan mereka semua. Kuputuskan untuk tidak menemui mereka lagi.
Hari berganti hari. Dan aku berusaha untuk
sabar. Sementara kakakku mulai mendesakku meminta barang haram itu lagi. Tapi
aku tidak memilikinya. Dan aku tidak punya jalur untuk mendapatkannya kecuali
melaui mereka; kawan-kawan jahat itu. Sementara keadaan kakakku semakin buruk.
Ia terus memintanya padaku meski hanya setengah butir. Dan entah mengapa ,
setan mulai membisikan bujuk-rayunya padaku. Setan mendorongku untuk menanyakan
padanya,”siapa tahu ia setuju melakukannya. Toh, kita tidak rugi apa-apa. Tidak
ada seorang pun yang mengetahuinya. Hanya engkau, kakakmu dan kawanmu itu saja.
Buatlah janji dengan temanmu itu untuk tidak menceritakan hal ini pada siapa
pun. Biarkan ini menjadi rahasia diantara kita.”
Akhirnya, aku pun memberanikan diri menyampaikan
hal itu padanya. “Orang yang memiliki benda itu ingin bertemu denganmu dan
melakukan “perbuatan” itu denganmu. Setelah itu, ia akan memberikan semua yang
kita mau tanpa harus membayar apapun……” ujarku padanya.
“Setuju!” jawab Sarah dengan cepat. “ayo ,kita
segera pergi!” ujarnya lagi.
Maka bersamanya, aku pun mengatur rencana untuk
keluar dari rumah. Dan benar saja, kami pun pergi menemui kawan itu. Aku
menemani kakakku kesana. Dan tidak lama kemudian, kami pun telah bersama di
dalam apartemen. Kawan itu memintaku untuk keluar sebentar putar-putar sampai
urusannya selesai, katanya. Satu jam kemudian, aku datang menemui mereka. Aku
sungguh terkejut. Kakakku (maaf) sudah nyaris tanpa busana, di apartemen
kawanku. Aku tiba-tiba seperti hilang ingatan. Tapi aku tak bisa berbuat
apa-apa. Kami malah duduk bersama sampai malam, ngobrol, minum dan seterusnya….
Duhai, betapa celakanya aku, Tuhanku. Aku pasti
masuk Neraka! Duhai, andai saja aku mati. Yah, andai aku mati saja, Tuhan. Aku
benar-benar binatang yang tak pantas hidup walau hanya sesaat!
Akhirnya bersama kakakku, aku pulang ke rumah
seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu. Aku hanya mengatakan kepada kakakku:
“Ini yang yang pertama dan yang terakhir. Tapi ternyata kawan bejatku itu telah
memberi janji –janji kepada kakakku, dan memberikan nomor telepon khususnya
jika ia menginginkan barang haram itu, tanpa perlu kehadiranku sebagai
perantara.”
Hari-hari pun berlalu, dan aku mulai melihat
kakakku keluar rumah tidak seperti biasanya. Mulanya bersama adikku, dengan
alasan apa saja: ke pasar , kerumah sakit, bahkan ia sekali lagi minta untuk
didaftarkan ke sekolah. Ayahku yang malang berusaha semaksimal mungkin dengan
semua yang dimilikinya dan semua orang yang dikenalnya untuk mengembalikannya
sekali lagi ke sekolah. Betapa gembiranya keluarga besarku dengan kembalinya
sang kakak melanjutkan studinya.
Suatu ketika, aku sedang bersama seorang kawan.
Tiba-tiba ia mengajak untuk mengunjungi rumah seorang kawan yang lain. Kami pun
pergi ke sana. Dan, sebuah musibah besar terjadi! Aku menemukan kakak
perempuanku disana, dan didalam pelukannya! Kemarahanku meledak, tapi malah
berdiri dan mengatakan:”Ada apa denganmu?! Ini hidupku dan aku bebas melakukan
apa saja!!”
Kawanku menarikku dan memberiku racun itu yang
membuat seorang manusia melupakan hal yang paling terhormat yang ia miliki,
bahkan membuatnya menjadi sesuatu yang paling hina dan tak berharga. Maka kami
pun pulang dari rumah itu , dan aku sudah kehilangan kemanusiaanku. Mereka
mempermainkan kakakku, sementara aku tak ubahnya seperti seekor binatang di
tengah mereka, bahkan lebih buruk dari itu.
Seiring waktu Ashar, aku pulang kerumah dalam
keadaan tidak mengetahui apa yang telah kulakukan. Uang dan kehormatan telah
hilang. Masa depan hilang. Dan akal sehat pun hilang. Persisnya, semuanya telah
hilang.
Hari-hari berlalu, dan aku hanya menangis jika
aku dalam keadaan kondisi sadar, dan tertawa jika mabuk. Benar-benar kehidupan
seekor binatang bahkan lebih hina. Hidup yang tidak berharga, rendah dan
menjijikan………
Dan suatu ketika dari seluruh hidupku yang sial
ini. Di suatu pagi yang hitam, tepat pukul 09.00, tiba-tiba polisi menelepon
ayahku ditempat kerjanya dan memintanya untuk segera datang. Beliau pun segera
hadir, dan di sana ia mendengarkan musibah yang sangat besar yang tidak dapat
ia tanggung dalam hidupnya. Ayahku meninggal beberapa hari setelah itu.
Sementara ibuku kehilangan kemampuannya untuk berbicara, karena musibah besar
itu! Apakah kalian tahu musibah apa itu? Apakah kalian tahu?
Yah, kakak perempuanku saat itu bersama seorang
pemuda di salah satu tempat rekreasi di luar kota. Mereka berdua dalam keadaan
mabuk. Dan sebuah kecelakaan menimpa keduanya hingga mereka tewas seketika
karenanya.
Duhai, inilah musibah yang dapat membuat batu
berbicara dan menangis. Wahai Sarah, betapa malangnya akhir kehidupanmu. Akhir
kehidupan yang tak pernah kau impikan. Tidak pernah engkau angan-angankan.
Sarah, yang suci itu telah menjadi seorang pelacur. Sarah, yang terhormat itu
telah menjadi seorang pezina. Sarah yang baik dan shalihah itu telah menjadi
wanita nakal.
Ya Allah, apa yang telah kulakukan kepada
kakakku itu? Apakah sampai sejauh ini aku mengantarkan perjalanannya? Aku telah
mendorongnya dengan tanganku sendiri ke dalam Neraka. Ia mengakhiri hidupnya
dengan sangat buruk. Wahai Tuhanku, apa yang telah aku lakukan?
Ya Allah, aku sungguh-sungguh memohon kepada-MU
agar Engkau menghukumku dan membalasku sebagai gantinya. Ya Allah, Engkau
benar-benar mengetahui bahwa ia terzhalimi, dan akulah yang menzhaliminya.
Akulah yang membuatnya tersesat tanpa ia sadari. Ia ingin memperbaikiku, namun
justru akulah yang merusaknya…….
Ayahku meninggal dunia beberapa hari kemudian.
Ibuku tidak lagi bisa berbicara setelah hari itu. Dan aku masih saja berada di
atas jalanku yang hitam. Keluargaku telah hancur. Semoga Allah melaknat barang
haram itu dan semua yang terlibat di dalamnya…….
Tidak lama kemudian, aku mulai berpikir untuk
bertaubat. Aku meminta izin kepada ibuku untuk melakukan perjalanan ke luar
kota dengan alasan ingin relaks beberapa waktu lamanya untuk melupakan semua
kejadian ini, mungkin beberapa bulan. Padahal sebenarnya aku sudah merencanakan
untuk pergi kerumah sakit pusat rehabilitasi. Yah, setelah aku menghancurkan
semua hidupku, hidup keluargaku, dan hidup kakakku ,Sarah.
Semoga Allah merahmatimu, wahai Sarah……
Ya Allah, ampunilah ia dan hukumlah aku sebagai
gantinya……
Aku bertekad untuk berobat. Aku mengaku bahwa
aku mengonsumsi barang-barang haram itu dalam perjalananku ke luar negeri.
Setelah beberapa bulan di pusat rehabilitasi itu akhirnya berhasil mengobati
diriku. Tapi setelah apa? Setelah aku memutuskan tali yang menjamin kehidupan
yang tenang dan bahagia.
Aku kembali, dan keluargaku hanya hidup dengan
apa yang diberikan orang. Ibuku telah menjual rumah kami, lalu ia kemudian
menyewa sebuah apartemen rumah tiga kamar, padahal jumlah kami semua adalah
delapan orang. Yah, setelah semua kenyamanan fasilitas dan hidup, kini hidup
dalam kesusahan dan meminta-minta kepada orang lain. Aku sendiri tidak
mempunyai keterampilan apa-apa. Adik-adikku masih kecil, dan sebagaiannya telah
meninggalkan sekolah karena tidak cukup biaya.
Sementar keluargaku, jika nama Sarah disebut,
mereka tak habis-habisnya melaknat dan menghinanya, karena –mereka pikir-
dialah penyebab semua bencana yang terjadi pada keluarga kami. Hatiku hancur,
karena aku tahu bahwa Sarah sesungguhnya terzhalimi. Aku hancur karena
keluargaku tidak tahu –dan aku sendiri- tidak mampu menyampaikan yang
sebenarnya. Karena itu pasti menambah luka mereka.
Renungkanlah ini, saudaraku ……
Semuanya karena narkoba, barang haram itu,
pangkal dari semua bencana…..
Kalian jangan menertawakanku, tapi ambilah
pelajaran dari kisahku ini. Sebarkanlah kisahku kepada siapa saja yang kalian
kenal. Semoga kisah ini dapat memberi hidayah kepada seseorang, barangkali itu
dapat menjadi penghapus dosaku yang aku sendiri tidak yakin akan diampuni oleh
Allah….
Dan kalau boleh berharap, doakanlah Sarah dalam
malam-malam kalian, doakanlah ia……
(Dikisahkan oleh seorang hamba yang selalu
memohonkan pengampunan untuk Sarah).
Sumber: “Tragedi Sarah”, Chicken Soup for
Muslim, oleh Ahmad Salim Baduwailan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar