- Zakiya Sabdosih -
Lelaki itu pencuri masa lalu.
Ke dalam botol-botol kaca ia memukat kenangan dari geraham udara. Lalu
disembunyikannya botol kaca itu di selasar rumahnya. Semalam-malam,
botol-botol kaca itu semakin bertambah jumlahnya. Sementara tak jauh
dari sana, ada rembulan yang kehilangan bayangannya.
Seperti disesap
kematian.
Perlahan-lahan.
*
Puisi
seumpama gadis berkerudung merah, yang kepada lelaki itu ditawarkannya
korek api. Celakanya, api itu membakar tubuh lelaki itu sendiri. Kini,
ia bercermin di atas riak telaga. Bayangan rembulan didapatinya seiring
kenangan; sirna. Menjelma asap. Seketika lesap.
Pujangga itu teringat kembali pada masa-masa bayangan
rembulan masih utuh. Pada masa kenangan itu tengah disepuh. Pada masa
puisi-puisi itu melekuk kidung. Mengajarinya detak jantung.
Sejak
gadis itu datang, rindunya tak pernah memejam. Layaknya udara yang
mengada hingga kedalaman lautan, tak pernah ia dapat mengakhirkan
kerinduan. Barangkali rindu itu membuatnya mengerti mengapa jarak dan
waktu diciptakan.
Setiap
malam dibawakannya gadis itu selaksa kata, raga yang puisi pinjam untuk
merupa cinta. Merupa jemari yang sanggup menggenggam tangannya. Merupa
lengan yang sanggup merengkuh tubuhnya. Merupa dekap. Merupa harap.
Sedang
gadis itu akan dengan setia menantinya mengirap kata. Menjadi puisi
yang paham akan kisah manusia. Seraya didapatinya sebuah tanah yang tak
akan pernah basah meski air matanya meruah.
“Puisimu
selalu berkata, mengajariku cinta, pada air mata.” Gadis itu duduk di
bawah sinar rembulan. Di bawah bayangan bulat sempurna.
“Tapi
kau tak akan bahagia dengan mencintai air mata.”
“Kita
hanya perlu mencintai air mata, agar bahkan hati yang gerhana mampu
memahami luka. Setelahnya, luka itu tak akan lagi pisau tajam.” Gadis
itu menerawang bulan, meronce bayangannya yang berenang di atas telaga
menjadi sebentuk tirai, yang kemudian disimpannya dalam jiwa; air mata.
“Kegundahan busur panah bukanlah tepat atau tidaknya ia melesat jangkar,
melainkan seberapa banyak air mata yang harus pemilik luka akhirnya
namai akibat caranya menyakiti.”
“Bagaimana
caramu menamai air mata jika bahkan sapu tanganmu tak mampu mengenali
apa yang dibasuhnya?”
“Di
dalam jiwa, air mata yang akan menemukan dirinya sendiri.”
“Mengapa
kau begitu ingin mencintai air mata?”
“Mana
yang lebih dulu Tuhan ciptakan, cinta atau air mata?”
“Bagaimana
aku mengetahuinya?” didapatinya tatap
mata gadis itu cahaya yang menghunus pedang dari sarungnya.
“Terang
hanya akan berarti jika gelap yang mendahului. Maka, cinta adalah
tulang rusuk air mata. Sama seperti Tuhan menciptakan Adam dan Hawa.”
“Hanyakah
karena kau ingin menanggung air mata itu sendiri?”
“Aku
hanya ingin mencintai air mata, seperti puisi yang begitu nyalang
menyairkan duri, dengan penuh ketegaran menjadikannya kidung abadi.”
Itu
lima tahun yang lalu.
Lima
tahun kenangan jiwa lelaki itu yang tak lagi puisi. Sebab hatinya tak
lagi mampu menyalangkan lengking sepi yang menyayat-nyayat nadi.
Sejak
gadis itu akhirnya,
mati.
*
Di
pucuk menara, bulan bagai seekor naga menjaga istana. Matanya
seribu api siap melesat diri. Sembunyi-sembunyi lelaki itu membuka
botol kacanya lagi. Akan dicurinya lagi detik dari masa lalu di telaga
ini. Detik mewujud kenangan berhamburan dari bayangan rembulan. Sedang
kenangan merupa puisi yang kepaknya mempersembahkan diri pada botol
kaca. Lagi, didapatinya sepukat kata dari geraham udara. Sementara
bayangan rembulan di atas telaga perlahan-lahan memudar.
Di
selasar rumahnya, sang pujangga membuka kembali botol kaca. Semasa yang
sama, berhamburan sebuah memorabilia. Rangkaian kata, yang dulu
dihaturkannya untuk gadis yang mengajarinya cinta pada air mata. Bagai
menukil peluru dari dadanya sendiri, lelaki itu memporak-porandakan
waktu. Ia tak pernah hidup dalam waktu yang berjalan maju, sebab udara
yang ia hela adalah masa lalu.
Saat
seperti ini menjadi ritual yang sakral. Barangkali peluru menyesap
terlalu dalam di dadanya, terlalu banyak darah yang bercucuran, sehingga
menukil peluru itu dengan jemarinya sendiri ialah masa yang sulit.
Penuh intrik. Itu sebabnya hanya mereka yang pandai mencabik-cabik
perasaan sendiri; keberanian yang merahim pada jiwa-jiwa pujangga
perangkai puisi.
Botol
kaca menghasta jarak baginya dan kenangan. Puisi itu ia harap sungai
yang mengalir kembali ke hulu, agar masa lalunya tak hanyut. Sebab dalam
aortanya ada seorang gadis yang terpaut, membawa pergi jantungnya
bergulut-gulut.
Gadis
itu pergi sebelum puisi-puisi sang lelaki sempat menyelesaikan
solilokuinya sendiri. Betapa lelaki itu hanya ingin masa-masanya
kembali. Masa saat sang gadis mendengarnya
menyenandungkan puisi. Mendendangkan kelopak bunga bermekaran, sedang
dirinya kumbang menyesap nektar. Menyesap ke dalam tatap mata yang lebih
putik dari sinar.
Setiap
kali botol kaca dibukanya, niscaya akan diketahuinya bahwa puisi dapat
menjelma suara. Dawai biola yang memekakkan telinga. Melengking getir.
Seumpama salam dari titik nadir. Lalu setelahnya, lelaki itu akan
mengingat kembali mengapa gadis itu begitu ingin mencintai air mata.
Gadis
itu tahu usianya tak lagi lama. Telah diketahuinya takdir akan
memanggilnya kembali segera. Sebab apa yang didera tubuhnya adalah
sebuah jam pasir. Suatu waktu penyakitnya pasti akan menghentikan detik
yang berbulir. Menyisa getir.
*
Adakah
lelaki itu sadari, seberapapun nyeri puisi itu berbunyi, hatinya
senantiasa menumpahkan puisi ke dalam dadanya sendiri. Berharap masa
lalunya mengabadi. dalam pusara hati.
“Puisi
adalah mata memejam raga terdiam dalam jiwa yang tak akan pernah
padam.”
“Apa
yang senantiasa kau harapkan dari puisi?” Gadis itu pernah bertanya
pada pujangga pemuja sepi. Suatu malam. Saat puisi-puisi itu masih
sedekat urat leher mereka sendiri.
“Jika
hati kita bahkan tak mau menuliskan kisahnya sendiri, lalu apa yang
akan hidup kita miliki?”
Gadis itu lalu membentuk bayangan rembulan di atas
telaga dengan puisi sang lelaki. Bulan seperti tertarik tubuhnya.
Mendekat sekian waktu cahaya. Puisi-puisi telah berperahu lebih dulu
sebelum pendulum waktu. Maka, meski bulan tengah sabit, bayangannya akan
tetap menjadi bayangan purnama. Bulat sempurna.
Namun
sekali lagi, itu lima tahun yang lalu. Kala puisi setia merahim kata
pada tubuhnya. Kala bayangan rembulan senantiasa purnama. Yang tersisa
kini, hanya pendar bayangan rembulan yang kian habis dipungutinya
semalam-malam. Seiring erat lengannya memeluk masa silam.
Gadisnya
memang telah tiada.
Namun
dalam puisi yang paling menguras air mata, lelaki itu membangun sebuah
singgasana, agar jiwa gadis yang dicintainya terus mengada.
*
Panggilah
ia penguasa masa. Berdetik-detik yang telah bernaung di bawah gugur
bunga kamboja telah kembali menjadi miliknya. Dalam botol kaca.
Seiring
bayangan rembulan pecah terburai-burai dipukat botol kaca, kenangan
bersatu kembali ke dalam tubuhnya. Bagai sebuah persembahan dari
semesta, yang kian lama menjadikannya kian kuasa. Sedang bayangan
rembulan jadi tumbalnya.
Keabadian
cinta hidup melalui puisi, lelaki itu sedang berusaha memunguti langkah
kakinya sendiri. Sejatinya, ia terlampau lugu dalam cinta, hanya saja
masa lalu telah pergi sambil membawa irisan jantungnya. Itu saja. Maka,
beribu kali lelaki itu hanya sedang berusaha membawa jantungnya kembali.
Sekalipun dalam jemarinya, puisi itu berubah duri. Sementara sang
lelaki menggenggam puisi terlampau erat dalam jemari. Jadilah, puisi itu
menyesap darahnya sendiri.
Sejak
lama, ia telah mencoba mencintai air mata. Mengidungkan duka sebagai
mekar bunga kenanga. Namun nyatanya, usia mekarnya hanya sependek senja.
Sepanjang semburat jingga yang segera meniada setelah lahir ke dunia.
Inilah takdirnya; puisi itu lebih tegar dari dirinya.
Adakah
puisi itu hanya sedang menguji pujangganya sendiri? Menantang seberapa
berani ia mengiris nadinya sendiri. Dengan mengingat kembali apa yang
dituliskannya sebagai puisi.
Nyatanya
lelaki itu memang sedang berusaha melantangkan syairnya. Yang oleh
bayangan rembulan, lelaki itu dicekik lehernya. Dicengkeram kuat-kuat.
Hingga tiada sepukat-pukat kata yang mampu menyairkan nada.
Sementara
lelaki itu tak peduli, mengerat bayangan rembulan semakin terasa
musykil kini. Tak lagi seperti menyiduk air di telaga. Sebab telah
sampai ia pada masa habisnya pantulan rembulan. Namun, lelaki itu
tawanya semakin menguat. Membahana. Dimuasalkan dirinya telah menguasai
bermasa-masa bayangan rembulan. Dirinya membusungkan dada, lima tahun
silam telah dilaluinya sebagai penguasa biduk karam.
Sayangnya,
lelaki itu tak menyadari bahwa ia telah mengkhianati waktu, Dengan menghela detik yang telah lampau terketuk palu.
*
Entah
malam ke berapa kini. Lelaki itu
membuka botol kacanya lagi, akan dicurinya bayangan rembulan kembali.
Namun,
tahukah apa yang terjadi?
Bayangan
rembulan itu didapatinya tak menyisa diri. Tak mewujud puisi.
Semalam-malam
kemarin, bayangan rembulan itu masih ada, meski tak lagi mudah
terkerat. Kini, yang ada hanya sisa-sisa senyap.
Lelaki
itu berlari-lari, mencari-cari kemana bayangan rembulan dapat ditemui.
Di atas telaga tak setitik pun pantulan rembulan menampakkan diri.
Berbotol-botol kaca telah menjadi udara yang dimasukkannya dalam
peparunya sendiri. Bila hari ini tak didapatinya bayangan rembulan, tak
pernah ia tahu bagaimana caranya mencintai air mata kesedihan.
Lelaki
itu semakin gegas berlari. Menelisik segala sunyi. Mencari di mana
bayangan rembulan itu bersembunyi. Terjatuh-jatuh ia mencari. Bilamana
jantung dapat mencari denyutnya sendiri, bila aliran darah itu berasal
dari bayangan rembulan yang ia curi?
Dilihatnya
bulan, lingkarnya memurnama langit, namun tak
setitikpun bayangannya telungkup di ujung pijakan kaki. Sinarnya nyalang
menembus ulu hati pada ia yang sedang terseok-seok mencari. Dapatkah
raga yang bernyawa kehilangan denyut nadi?
Bayangan
rembulan barangkali telah mati. Terpanah dirinya sendiri. Sejatinya
puisi memang tempat bersemayamnya segala kisah sepi. Yang semalam-malam
di atas tanah kuburnya bertumbuhan duri.
Tubuh
lelaki itu kini tersesap air mata seiring langkah kaki. Meski ia hanya
ingin meneguk masa lalu dalam puisi. Dalam kisah yang ia tulis sendiri.
Sebab cinta tak pernah mewariskan apapun pada manusia selain air mata
dan puisi.
Lelaki
itu terus berlari.
Entah
mencari bayangan rembulan atau mencari denyut jantungnya sendiri.***
Batu – Wonosobo, Maret 2012
Zakiya
Sabdosih, lahir di Malang, 7 Juli 1991. Saat ini sedang
menempuh studi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya. Ia
pernah menjuarai lomba cerpen diantaranya, Juara III Lomba cerpen
tingkat Mahasiswa Se-Indonesia Untirta 2011, Juara II Lomba Cerpen Sains
UKMF Natural Universitas Lampung, Juara Gebyar Sastra Kartunet Februari
2012 Tema ‘Cinta’, 15 cerpen terbaik Retakan Kata, Nomine Lomba Cerita
Mini Forum Sastra Bumi Pertiwi, 30 cerpen pilihan Sayembara fiksi
Dumalana periode 3, serta nomine lainnya baik lokal maupun nasional.
Karyanya juga pernah ikut dalam beberapa antologi, diantaranya Antologi
Bulan Kebabian Untirta (Belistra, 2011), cerpennya berjudul Mata
Angin dan Tuhan, masuk dalam Antologi 15 Cerpen Pemenang Lomba
Cerpen ‘Kehilangan’ Warung Antologi (Penerbit Seruni, 2012), Antologi Time Machine NBC Malang.
Sumber: FLP SulSel
Tidak ada komentar:
Posting Komentar