Sabtu, 12 Mei 2012

Pemenang 1 Lomba Cerpen Hardiknas: REMBULAN DALAM BOTOL KACA



- Zakiya Sabdosih -

Lelaki itu pencuri masa lalu. Ke dalam botol-botol kaca ia memukat kenangan dari geraham udara. Lalu disembunyikannya botol kaca itu di selasar rumahnya. Semalam-malam, botol-botol kaca itu semakin bertambah jumlahnya. Sementara tak jauh dari sana, ada rembulan yang kehilangan bayangannya.
Seperti disesap kematian.
Perlahan-lahan.
*
Puisi seumpama gadis berkerudung merah, yang kepada lelaki itu ditawarkannya korek api. Celakanya, api itu membakar tubuh lelaki itu sendiri. Kini, ia bercermin di atas riak telaga. Bayangan rembulan didapatinya seiring kenangan; sirna. Menjelma asap. Seketika lesap.



Pujangga itu teringat kembali pada masa-masa bayangan rembulan masih utuh. Pada masa kenangan itu tengah disepuh. Pada masa puisi-puisi itu melekuk kidung. Mengajarinya detak jantung.
Sejak gadis itu datang, rindunya tak pernah memejam. Layaknya udara yang mengada hingga kedalaman lautan, tak pernah ia dapat mengakhirkan kerinduan. Barangkali rindu itu membuatnya mengerti mengapa jarak dan waktu diciptakan.
Setiap malam dibawakannya gadis itu selaksa kata, raga yang puisi pinjam untuk merupa cinta. Merupa jemari yang sanggup menggenggam tangannya. Merupa lengan yang sanggup merengkuh tubuhnya. Merupa dekap. Merupa harap.
Sedang gadis itu akan dengan setia menantinya mengirap kata. Menjadi puisi yang paham akan kisah manusia. Seraya didapatinya sebuah tanah yang tak akan pernah basah meski air matanya meruah.
“Puisimu selalu berkata, mengajariku cinta, pada air mata.” Gadis itu duduk di bawah sinar rembulan. Di bawah bayangan bulat sempurna.
“Tapi kau tak akan bahagia dengan mencintai air mata.”
“Kita hanya perlu mencintai air mata, agar bahkan hati yang gerhana mampu memahami luka. Setelahnya, luka itu tak akan lagi pisau tajam.” Gadis itu menerawang bulan, meronce bayangannya yang berenang di atas telaga menjadi sebentuk tirai, yang kemudian disimpannya dalam jiwa; air mata. “Kegundahan busur panah bukanlah tepat atau tidaknya ia melesat jangkar, melainkan seberapa banyak air mata yang harus pemilik luka akhirnya namai akibat caranya menyakiti.”
“Bagaimana caramu menamai air mata jika bahkan sapu tanganmu tak mampu mengenali apa yang dibasuhnya?”
“Di dalam jiwa, air mata yang akan menemukan dirinya sendiri.”
“Mengapa kau begitu ingin mencintai air mata?”
“Mana yang lebih dulu Tuhan ciptakan, cinta atau air mata?”
“Bagaimana aku mengetahuinya?” didapatinya tatap mata gadis itu cahaya yang menghunus pedang dari sarungnya.
“Terang hanya akan berarti jika gelap yang mendahului. Maka, cinta adalah tulang rusuk air mata. Sama seperti Tuhan menciptakan Adam dan Hawa.”
“Hanyakah karena kau ingin menanggung air mata itu sendiri?”
“Aku hanya ingin mencintai air mata, seperti puisi yang begitu nyalang menyairkan duri, dengan penuh ketegaran menjadikannya kidung abadi.”
Itu lima tahun yang lalu.
Lima tahun kenangan jiwa lelaki itu yang tak lagi puisi. Sebab hatinya tak lagi mampu menyalangkan lengking sepi yang menyayat-nyayat nadi.
Sejak gadis itu akhirnya,
mati.
*
Di pucuk menara, bulan bagai seekor naga menjaga istana. Matanya seribu api siap melesat diri. Sembunyi-sembunyi lelaki itu membuka botol kacanya lagi. Akan dicurinya lagi detik dari masa lalu di telaga ini. Detik mewujud kenangan berhamburan dari bayangan rembulan. Sedang kenangan merupa puisi yang kepaknya mempersembahkan diri pada botol kaca. Lagi, didapatinya sepukat kata dari geraham udara. Sementara bayangan rembulan di atas telaga perlahan-lahan memudar.
Di selasar rumahnya, sang pujangga membuka kembali botol kaca. Semasa yang sama, berhamburan sebuah memorabilia. Rangkaian kata, yang dulu dihaturkannya untuk gadis yang mengajarinya cinta pada air mata. Bagai menukil peluru dari dadanya sendiri, lelaki itu memporak-porandakan waktu. Ia tak pernah hidup dalam waktu yang berjalan maju, sebab udara yang ia hela adalah masa lalu.
Saat seperti ini menjadi ritual yang sakral. Barangkali peluru menyesap terlalu dalam di dadanya, terlalu banyak darah yang bercucuran, sehingga menukil peluru itu dengan jemarinya sendiri ialah masa yang sulit. Penuh intrik. Itu sebabnya hanya mereka yang pandai mencabik-cabik perasaan sendiri; keberanian yang merahim pada jiwa-jiwa pujangga perangkai puisi.
Botol kaca menghasta jarak baginya dan kenangan. Puisi itu ia harap sungai yang mengalir kembali ke hulu, agar masa lalunya tak hanyut. Sebab dalam aortanya ada seorang gadis yang terpaut, membawa pergi jantungnya bergulut-gulut.
Gadis itu pergi sebelum puisi-puisi sang lelaki sempat menyelesaikan solilokuinya sendiri. Betapa lelaki itu hanya ingin masa-masanya kembali. Masa saat sang gadis mendengarnya menyenandungkan puisi. Mendendangkan kelopak bunga bermekaran, sedang dirinya kumbang menyesap nektar. Menyesap ke dalam tatap mata yang lebih putik dari sinar.
Setiap kali botol kaca dibukanya, niscaya akan diketahuinya bahwa puisi dapat menjelma suara. Dawai biola yang memekakkan telinga. Melengking getir. Seumpama salam dari titik nadir. Lalu setelahnya, lelaki itu akan mengingat kembali mengapa gadis itu begitu ingin mencintai air mata.
Gadis itu tahu usianya tak lagi lama. Telah diketahuinya takdir akan memanggilnya kembali segera. Sebab apa yang didera tubuhnya adalah sebuah jam pasir. Suatu waktu penyakitnya pasti akan menghentikan detik yang berbulir. Menyisa getir.
*
Adakah lelaki itu sadari, seberapapun nyeri puisi itu berbunyi, hatinya senantiasa menumpahkan puisi ke dalam dadanya sendiri. Berharap masa lalunya mengabadi. dalam pusara hati.
“Puisi adalah mata memejam raga terdiam dalam jiwa yang tak akan pernah padam.”
“Apa yang senantiasa kau harapkan dari puisi?” Gadis itu pernah bertanya pada pujangga pemuja sepi. Suatu malam. Saat puisi-puisi itu masih sedekat urat leher mereka sendiri.
“Jika hati kita bahkan tak mau menuliskan kisahnya sendiri, lalu apa yang akan hidup kita miliki?”
Gadis itu lalu membentuk bayangan rembulan di atas telaga dengan puisi sang lelaki. Bulan seperti tertarik tubuhnya. Mendekat sekian waktu cahaya. Puisi-puisi telah berperahu lebih dulu sebelum pendulum waktu. Maka, meski bulan tengah sabit, bayangannya akan tetap menjadi bayangan purnama. Bulat sempurna.
Namun sekali lagi, itu lima tahun yang lalu. Kala puisi setia merahim kata pada tubuhnya. Kala bayangan rembulan senantiasa purnama. Yang tersisa kini, hanya pendar bayangan rembulan yang kian habis dipungutinya semalam-malam. Seiring erat lengannya memeluk masa silam.
Gadisnya memang telah tiada.
Namun dalam puisi yang paling menguras air mata, lelaki itu membangun sebuah singgasana, agar jiwa gadis yang dicintainya terus mengada.
*
Panggilah ia penguasa masa. Berdetik-detik yang telah bernaung di bawah gugur bunga kamboja telah kembali menjadi miliknya. Dalam botol kaca.
Seiring bayangan rembulan pecah terburai-burai dipukat botol kaca, kenangan bersatu kembali ke dalam tubuhnya. Bagai sebuah persembahan dari semesta, yang kian lama menjadikannya kian kuasa. Sedang bayangan rembulan jadi tumbalnya.
Keabadian cinta hidup melalui puisi, lelaki itu sedang berusaha memunguti langkah kakinya sendiri. Sejatinya, ia terlampau lugu dalam cinta, hanya saja masa lalu telah pergi sambil membawa irisan jantungnya. Itu saja. Maka, beribu kali lelaki itu hanya sedang berusaha membawa jantungnya kembali. Sekalipun dalam jemarinya, puisi itu berubah duri. Sementara sang lelaki menggenggam puisi terlampau erat dalam jemari. Jadilah, puisi itu menyesap darahnya sendiri.
Sejak lama, ia telah mencoba mencintai air mata. Mengidungkan duka sebagai mekar bunga kenanga. Namun nyatanya, usia mekarnya hanya sependek senja. Sepanjang semburat jingga yang segera meniada setelah lahir ke dunia. Inilah takdirnya; puisi itu lebih tegar dari dirinya.
Adakah puisi itu hanya sedang menguji pujangganya sendiri? Menantang seberapa berani ia mengiris nadinya sendiri. Dengan mengingat kembali apa yang dituliskannya sebagai puisi.
Nyatanya lelaki itu memang sedang berusaha melantangkan syairnya. Yang oleh bayangan rembulan, lelaki itu dicekik lehernya. Dicengkeram kuat-kuat. Hingga tiada sepukat-pukat kata yang mampu menyairkan nada.
Sementara lelaki itu tak peduli, mengerat bayangan rembulan semakin terasa musykil kini. Tak lagi seperti menyiduk air di telaga. Sebab telah sampai ia pada masa habisnya pantulan rembulan. Namun, lelaki itu tawanya semakin menguat. Membahana. Dimuasalkan dirinya telah menguasai bermasa-masa bayangan rembulan. Dirinya membusungkan dada, lima tahun silam telah dilaluinya sebagai penguasa biduk karam.
Sayangnya, lelaki itu tak menyadari bahwa ia telah mengkhianati waktu, Dengan menghela detik yang telah lampau terketuk palu.
*
Entah malam ke berapa kini. Lelaki itu membuka botol kacanya lagi, akan dicurinya bayangan rembulan kembali.
Namun, tahukah apa yang terjadi?
Bayangan rembulan itu didapatinya tak menyisa diri. Tak mewujud puisi.
Semalam-malam kemarin, bayangan rembulan itu masih ada, meski tak lagi mudah terkerat. Kini, yang ada hanya sisa-sisa senyap.
Lelaki itu berlari-lari, mencari-cari kemana bayangan rembulan dapat ditemui. Di atas telaga tak setitik pun pantulan rembulan menampakkan diri. Berbotol-botol kaca telah menjadi udara yang dimasukkannya dalam peparunya sendiri. Bila hari ini tak didapatinya bayangan rembulan, tak pernah ia tahu bagaimana caranya mencintai air mata kesedihan.
Lelaki itu semakin gegas berlari. Menelisik segala sunyi. Mencari di mana bayangan rembulan itu bersembunyi. Terjatuh-jatuh ia mencari. Bilamana jantung dapat mencari denyutnya sendiri, bila aliran darah itu berasal dari bayangan rembulan yang ia curi?
Dilihatnya bulan, lingkarnya memurnama langit, namun tak setitikpun bayangannya telungkup di ujung pijakan kaki. Sinarnya nyalang menembus ulu hati pada ia yang sedang terseok-seok mencari. Dapatkah raga yang bernyawa kehilangan denyut nadi?
Bayangan rembulan barangkali telah mati. Terpanah dirinya sendiri. Sejatinya puisi memang tempat bersemayamnya segala kisah sepi. Yang semalam-malam di atas tanah kuburnya bertumbuhan duri.
Tubuh lelaki itu kini tersesap air mata seiring langkah kaki. Meski ia hanya ingin meneguk masa lalu dalam puisi. Dalam kisah yang ia tulis sendiri. Sebab cinta tak pernah mewariskan apapun pada manusia selain air mata dan puisi.
Lelaki itu terus berlari.
Entah mencari bayangan rembulan atau mencari denyut jantungnya sendiri.***

Batu – Wonosobo, Maret 2012

Zakiya Sabdosih, lahir di Malang, 7 Juli 1991. Saat ini sedang menempuh studi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya. Ia pernah menjuarai lomba cerpen diantaranya, Juara III Lomba cerpen tingkat Mahasiswa Se-Indonesia Untirta 2011, Juara II Lomba Cerpen Sains UKMF Natural Universitas Lampung, Juara Gebyar Sastra Kartunet Februari 2012 Tema ‘Cinta’, 15 cerpen terbaik Retakan Kata, Nomine Lomba Cerita Mini Forum Sastra Bumi Pertiwi, 30 cerpen pilihan Sayembara fiksi Dumalana periode 3, serta nomine lainnya baik lokal maupun nasional. Karyanya juga pernah ikut dalam beberapa antologi, diantaranya Antologi Bulan Kebabian Untirta (Belistra, 2011), cerpennya berjudul Mata Angin dan Tuhan, masuk dalam Antologi 15 Cerpen Pemenang Lomba Cerpen ‘Kehilangan’ Warung Antologi (Penerbit Seruni, 2012), Antologi Time Machine NBC Malang.

 Sumber: FLP SulSel

Tidak ada komentar:

Posting Komentar