Minggu, 29 April 2012

Toleransi dan Demokrasi Pedagogis


Jajak pendapat KOMPAS pada hari Senin, 20 September 2010 mengungkap sebuah kenyataan menarik dan membesarkan hati, yakni “tujuh puluh empat persen persen responden menyatakan tidak khawatir bahwa kelompok agama yang berbeda akan memengaruhi keyakinan mereka”. Jajak pendapat ini juga menyampaikan bahwa 88 persen menerima jika tetangga dekat rumah mengadakan acara keagamaan dan 74,2 persen menerima jika di dekat tempat tinggal mereka dibangun rumah ibadah dari kelompok agama yang berbeda. Dengan kata lain, jajak pendapat ini secara implist mengatakan bahwa toleransi beragama masih berakar kuat di dalam masyarakat Indonesia.

Di sisi yang lain, peristiwa aktual yang terjadi belakangan ini menampilkan suasana yang kontras dengan jajak pendapat tersebut. Di Ciketing Bekasi, kebaktian HKBP dilarang oleh sejumlah orang yang mengaku warga setempat. Di Bogor, ijin Gereja Kristen Indonesia dibekukan oleh pemda, sekalipun kasasi pemkot telah ditolak oleh MA. Sejumlah ketegangan berkaitan dengan isu pendirian rumah ibadah dan hubungan antar pemeluk agama terjadi di beberapa lokal di Indonesia –terutama di Jawa Barat. Terakhir sejumlah pengungsi muslim akibat bencana Merapi di daerah Bantul, diminta pindah dari sebuah gereja oleh sekelompok orang berjubah.
Dari dua paparan di atas, kita melihat berlangsungnya dua keadaan yang kontradiktif: yang satu menyatakan bahwa secara sosial toleransi beragama masih kuat; sementara yang lain menyatakan bahwa toleransi berada dalam ancaman serius. Mana yang benar? Dalam hal ini KOMPAS benar, toleransi merupakan nilai yang diterima secara umum di Indonesia, tetapi kekhawatiran bahwa prospek toleransi dan kebebasan beragama terancam oleh aksi kekerasan kelompok-kelompok ekstrem di dalam masyarakat juga benar dan memiliki dasar. Kalau boleh digeneralisasi dapat dikatakan bahwa, secara sosial masyarakat Indonesia masih memiliki sedikit pertahanan ‘kultural’ untuk tidak segera jatuh pada intoleransi; akan tetapi secara politik, kebijakan politik yang ada memang tidak mampu mengakomodasi suatu politik pluralis yang lebih bisa menjamin toleransi.
Sebenarnya, ketegangan dan gesekan antar-komunitas primordial (agama, suku, etnis) di Indonesia sudah sering terjadi, memiliki akar yang panjang dan berlangsung lama. Dengan kondisi itu maka ketegangan serupa bisa dipastikan sudah pasti akan terjadi. Suatu bangsa dengan tingkat keragaman budaya dan sistem nilai yang luar biasa tingginya, berkombinasi dengan apirasi politik yang berbeda-beda dan basis ekonomi-politik yang masih timpang di mana-mana, sudah pasti akan menghasilkan konflik dan ketegangan. Pluralitas dan ketegangan di dalamnya adalah suatu fakta sosial. Masyarakat kita selama berabad-abad hidup dan belajar dalam kondisi semacam ini. Ini yang memberikan basis antropologis bagi pluralisme dan toleransi secara umum.
Lebih dari itu, secara historis pendirian Indonesia sebagai republik dengan sendirinya dimaksudkan untuk mengatasi gesekan primordial. Ketika menyebut Indonesia sebagai Republik, maka secara tidak langsung kita menempatkan “pandangan primordial” sebagai pandangan “pra-Indonesia”. Itu sebabnya kita selalu gegap gempita meritualkan Hari Sumpah Pemuda dan Hari Kelahiran Pancasila, serta Hari Proklamasi. Dengan demikian, para pendiri bangsa sebenarnya memosisikan negara dan bangsa Indonesia sebagai bentuk transformasi dari unsur-unsur primordial. Itu sebabnya, nasionalisme Indonesia dinyatakan berbasis pada paham kebangsaan, bukan etnis dan agama.
Namun demikian kita juga tahu bahwa konsensus-normatif itu sendiri adalah sebuah “ruang-kosong”. Betapapun ia telah ditetapkan sebagai dasar pijakan, usaha untuk menggeser dan mengkontestasi konsensus-konsensus dasar itu selalu muncul dalam sejarah politik Indonesia. Berhadapan dengan hal ini, setiap pemerintahan yang datang dan pergi dari panggung politik di Indonesia mengajukan cara yang berbeda-beda. Soekarno-Hatta mengajukan pendasaran dan politik fundamental yang normatif dengan basis karisma dan populisme politik. Sementara rejim Orde Baru mengisi ruang kosong konsensus itu dengan represi. Pemerintahan era reformasi sesudah Orde Baru juga mengajukan cara yang beragam. Presiden Habibie meski berlatar politik dari kelompok cendekiawan sektarian, relatif memiliki pandangan yang modern dan sekular mengenai bangsa. Sementara Megawati dan Gus Dur memiliki pandangan yang juga relatif sama dalam soal toleransi dan konsensus nasional itu. Pada ketiganya komitmen dan akomodasi terhadap pandangan pluralis terlihat dengan jelas dan lebih tegas. Hasilnya, meski pada masa-masa mereka konflik dan gesekan tidak kurang, tapi secara umum setidaknya masyarakat menilai toleransi dan konsensus nasional tidak dalam ancaman.
Suasana dan keyakinan ini yang terasa hilang di masa pemerintahan SBY. Sejak RI didirikan, barangkali di era pemerintahan inilah toleransi dan pluralisme mengalami ancaman yang paling banyak dan paling serius. Presiden SBY, boleh saja mengatakan di setiap pidatonya bahwa konsensus dasar negara tidak boleh diganggu gugat lagi. Yang jadi soal kemudian adalah komitmen dan langkah kepolitikan apa yang harus dilakukan untuk terus mencapai konsensus itu? Konsensus politik bukanlah mantra atau jampi-jampi politik yang sekali diucapkan akan bertelur di kejadian. Konsensus politik adalah nama kosong, yang mesti diisi dengan tindakan politik yang sejalan dengan pendirian-pendirian di dalam konsensus dasar itu. Kita mungkin percaya pada komitmen Presiden SBY akan demokrasi, tapi demokrasi tidak bisa dipahami sebagai mekanisme yang tanpa pendasaran etis atau sekadar reproduksi suara terbanyak. Jauh-jauh hari Hatta-Syahrir mengingatkan bahwa demokrasi mesti memiliki dimensi penyadaran, mentransformasi massa yang gerombolan menjadi warga yang sadar akan nilai-nilai demokrasi itu sendiri. SBY perlu memahami bahwa demokrasi tidak dapat dipraktikkan dalam makna negatifnya: penyebaran kebencian, pengucilan terhadap hak-hak minoritas, kekerasan, dan pembakaran. Di dalam demokrasi selalu disyaratkan sifat paedagogi: demokrasi yang mampu mentransformasi dan mengubah kesadaran massa.

* Versi asli tulisan ini pernah dimuat di Majalah Hidup, ini merupakan naskah yang telah diperbaiki.
Sumber: www.p2d.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar