Jajak pendapat KOMPAS pada hari Senin, 20 September 2010 mengungkap sebuah kenyataan menarik dan membesarkan hati, yakni “tujuh puluh empat persen persen responden menyatakan tidak khawatir bahwa kelompok agama yang berbeda akan memengaruhi keyakinan mereka”. Jajak pendapat ini juga menyampaikan bahwa 88 persen menerima jika tetangga dekat rumah mengadakan acara keagamaan dan 74,2 persen menerima jika di dekat tempat tinggal mereka dibangun rumah ibadah dari kelompok agama yang berbeda. Dengan kata lain, jajak pendapat ini secara implist mengatakan bahwa toleransi beragama masih berakar kuat di dalam masyarakat Indonesia.
Di
sisi yang lain, peristiwa aktual yang terjadi belakangan ini menampilkan
suasana yang kontras dengan jajak pendapat tersebut. Di Ciketing
Bekasi, kebaktian HKBP dilarang oleh sejumlah orang yang mengaku warga
setempat. Di Bogor, ijin Gereja Kristen Indonesia dibekukan oleh pemda,
sekalipun kasasi pemkot telah ditolak oleh MA. Sejumlah ketegangan
berkaitan dengan isu pendirian rumah ibadah dan hubungan antar pemeluk
agama terjadi di beberapa lokal di Indonesia –terutama di Jawa Barat.
Terakhir sejumlah pengungsi muslim akibat bencana Merapi di daerah
Bantul, diminta pindah dari sebuah gereja oleh sekelompok orang
berjubah.
Dari
dua paparan di atas, kita melihat berlangsungnya dua keadaan yang
kontradiktif: yang satu menyatakan bahwa secara sosial toleransi
beragama masih kuat; sementara yang lain menyatakan bahwa toleransi
berada dalam ancaman serius. Mana yang benar? Dalam hal ini KOMPAS
benar, toleransi merupakan nilai yang diterima secara umum di
Indonesia, tetapi kekhawatiran bahwa prospek toleransi dan kebebasan
beragama terancam oleh aksi kekerasan kelompok-kelompok ekstrem di dalam
masyarakat juga benar dan memiliki dasar. Kalau boleh digeneralisasi
dapat dikatakan bahwa, secara sosial masyarakat Indonesia masih memiliki sedikit pertahanan ‘kultural’ untuk tidak segera jatuh pada intoleransi; akan tetapi secara politik, kebijakan politik yang ada memang tidak mampu mengakomodasi suatu politik pluralis yang lebih bisa menjamin toleransi.
Sebenarnya,
ketegangan dan gesekan antar-komunitas primordial (agama, suku, etnis)
di Indonesia sudah sering terjadi, memiliki akar yang panjang dan
berlangsung lama. Dengan kondisi itu maka ketegangan serupa bisa
dipastikan sudah pasti akan terjadi. Suatu bangsa dengan tingkat
keragaman budaya dan sistem nilai yang luar biasa tingginya,
berkombinasi dengan apirasi politik yang berbeda-beda dan basis
ekonomi-politik yang masih timpang di mana-mana, sudah pasti akan
menghasilkan konflik dan ketegangan. Pluralitas dan ketegangan di
dalamnya adalah suatu fakta sosial. Masyarakat kita selama berabad-abad
hidup dan belajar dalam kondisi semacam ini. Ini yang memberikan basis
antropologis bagi pluralisme dan toleransi secara umum.
Lebih
dari itu, secara historis pendirian Indonesia sebagai republik dengan
sendirinya dimaksudkan untuk mengatasi gesekan primordial. Ketika
menyebut Indonesia sebagai Republik, maka secara tidak langsung kita
menempatkan “pandangan primordial” sebagai pandangan “pra-Indonesia”.
Itu sebabnya kita selalu gegap gempita meritualkan Hari Sumpah Pemuda
dan Hari Kelahiran Pancasila, serta Hari Proklamasi. Dengan demikian,
para pendiri bangsa sebenarnya memosisikan negara dan bangsa Indonesia
sebagai bentuk transformasi dari unsur-unsur primordial. Itu sebabnya,
nasionalisme Indonesia dinyatakan berbasis pada paham kebangsaan, bukan
etnis dan agama.
Namun
demikian kita juga tahu bahwa konsensus-normatif itu sendiri adalah
sebuah “ruang-kosong”. Betapapun ia telah ditetapkan sebagai dasar
pijakan, usaha untuk menggeser dan mengkontestasi konsensus-konsensus
dasar itu selalu muncul dalam sejarah politik Indonesia. Berhadapan
dengan hal ini, setiap pemerintahan yang datang dan pergi dari panggung
politik di Indonesia mengajukan cara yang berbeda-beda. Soekarno-Hatta
mengajukan pendasaran dan politik fundamental yang normatif dengan basis
karisma dan populisme politik. Sementara rejim Orde Baru mengisi ruang
kosong konsensus itu dengan represi. Pemerintahan era reformasi sesudah
Orde Baru juga mengajukan cara yang beragam. Presiden Habibie meski
berlatar politik dari kelompok cendekiawan sektarian, relatif memiliki
pandangan yang modern dan sekular mengenai bangsa. Sementara Megawati
dan Gus Dur memiliki pandangan yang juga relatif sama dalam soal
toleransi dan konsensus nasional itu. Pada ketiganya komitmen dan
akomodasi terhadap pandangan pluralis terlihat dengan jelas dan lebih
tegas. Hasilnya, meski pada masa-masa mereka konflik dan gesekan tidak
kurang, tapi secara umum setidaknya masyarakat menilai toleransi dan
konsensus nasional tidak dalam ancaman.
Suasana dan keyakinan ini yang terasa
hilang di masa pemerintahan SBY. Sejak RI didirikan, barangkali di era
pemerintahan inilah toleransi dan pluralisme mengalami ancaman yang
paling banyak dan paling serius. Presiden SBY, boleh saja mengatakan di
setiap pidatonya bahwa konsensus dasar negara tidak boleh diganggu gugat
lagi. Yang jadi soal kemudian adalah komitmen dan langkah kepolitikan
apa yang harus dilakukan untuk terus mencapai konsensus itu? Konsensus
politik bukanlah mantra atau jampi-jampi politik yang sekali diucapkan
akan bertelur di kejadian. Konsensus politik adalah nama kosong,
yang mesti diisi dengan tindakan politik yang sejalan dengan
pendirian-pendirian di dalam konsensus dasar itu. Kita mungkin percaya
pada komitmen Presiden SBY akan demokrasi, tapi demokrasi tidak bisa
dipahami sebagai mekanisme yang tanpa pendasaran etis atau sekadar
reproduksi suara terbanyak. Jauh-jauh hari Hatta-Syahrir mengingatkan
bahwa demokrasi mesti memiliki dimensi penyadaran, mentransformasi massa
yang gerombolan menjadi warga yang sadar akan nilai-nilai demokrasi itu
sendiri. SBY perlu memahami bahwa demokrasi tidak dapat dipraktikkan
dalam makna negatifnya: penyebaran kebencian, pengucilan terhadap
hak-hak minoritas, kekerasan, dan pembakaran. Di dalam demokrasi selalu
disyaratkan sifat paedagogi: demokrasi yang mampu mentransformasi dan
mengubah kesadaran massa.
* Versi asli tulisan ini pernah dimuat di Majalah Hidup, ini merupakan naskah yang telah diperbaiki.
Sumber: www.p2d.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar